Rabu, 27 November 2019

hukum memakai henna bagi wanita



🌷HUKUM MEMAKAI HENNA BAGI WANITA🌷🍃

Memakai henna adalah perkara muamalah yang tentunya hukum asalnya mubah (boleh)...
Bahkan terdapat anjuran dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bagi para wanita untuk memakai henna agar tidak serupa dengan laki-laki...

Dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau berkata :

أومأت امرأة من وراء ستر بيدها كتاب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقبض رسول الله صلى الله عليه وسلم يده فقال: ما أدري أيد رجل أم يد امرأة؟ قالت : بل امرأة . قال صلى الله عليه وسلم : لو كنت امرأة لغيرت أظفارك يعني بالحناء

“Seorang wanita menjulurkan tangannya dari balik tabir.
Di tangannya ada sebuah tulisan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menahan tangan beliau dan berkata,
”Saya tidak tahu, apakah ini tangan laki-laki ataukah tangan wanita?”
Sang wanita menjawab, ”Ini tangan wanita”.
Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda :
“Jika kamu seorang wanita, seharusnya engkau warnai jari-jarimu dengan henna”.
(HR. Abu Daud 4166, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).

Oleh karena itu, sebagian ulama bahkan mengatakan memakai henna hukumnya mustahab (sunnah)...

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan :

“Tidak diragukan lagi bahwa mewarnai tangan wanita dengan henna itu hukumnya mustahab (sunnah)...
Terdapat anjurannya dalam beberapa hadits yang tidak lepas dari kelemahan...
Namun perkara yang utama bagi wanita untuk mewarnai tangannya dengan henna...
Adapun yang mengatakan wajib atau mengharamkannya maka saya tidak tahu apa landasannya...
Tapi yang utama adalah mewarnai tangan wanita dengan henna sehingga mereka tidak serupa dengan lelaki...
Ini yang lebih baik dan lebih utama...
Karena terdapat dalam beberapa hadits (yang shahih) bahwa memakai henna adalah kebiasaan sudah umum diketahui oleh para wanita...
Dan sudah umum diketahui di zaman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dan zaman setelahnya...
Maka memakai henna bagi wanita itu lebih baik dan lebih utama...”
(Fatawa Nurun ‘ala Darbi, 
https://www.binbaz.org.sa/noor/7)

Memakai henna juga dianjurkan dalam syariat karena termasuk berhias bagi suami...
Yang ini dituntut dalam syariat, sehingga dapat melanggengkan rumah tangga...
Menyalurkan syahwat kepada jalan yang halal dan mengcegah dari penyaluran syahwat kepada yang tidak halal...

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengatakan :

“Tidak mengapa menggunakan henna bagi wanita di kaki-kaki mereka dan di tangan-tangan mereka dengan bentuk dan corak apapun...
Karena memang wanita itu dituntut untuk berhias di hadapan suami mereka..”
(Sumber : 
http://ar.islamway.net/fatwa/9981)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan :

“Mewarnai tangan dengan henna adalah perkara yang sudah ma’ruf di kalangan wanita...
Ini adalah kebiasaan mereka dalam berhias...
Selama hal ini bisa mempercantik wanita maka ini adalah perkara yang dituntut dalam syariat untuk berhias diri di hadapan suami mereka...
Baik itu mewarnai semua jari mereka atau pun tidak semuanya...
Adapun memakai manaakir (nail polish; cutex; kutek) hukumnya haram bagi wanita yang sedang tidak haid, karena itu menghalangi air wudhu sampai ke kulit...
Kecuali jika dihilangkan dulu sebelum berwudhu..”
(Sumber : 
http://ar.islamway.net/fatwa/3838)

❎❎ TIDAK BOLEH DITAMPAKKAN KEPADA LELAKI YANG BUKAN MAHRAM ❎❎

Sebagaimana dijelaskan para ulama di atas, henna adalah termasuk perhiasan wanita...
Oleh karena itu tidak boleh ditampakkan kepada lelaki yang bukan mahram, berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah, hendaknya mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka, dan hendaknya mereka tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa terlihat” (QS. An-Nur : 31)

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan :

“Jika seorang wanita mewarnai tangannya atau kakinya dengan henna, hendaknya ia menutupnya dari orang-orang...
Bisa ditutup dengan kainnya atau pakaiannya, karena itu menyebabkan fitnah..”
(Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 17/272, dinukil dari
https://islamqa.info/ar/223251)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan :

“Wajib diketahui bahwasanya henna itu termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan seorang wanita kecuali kepada orang-orang yang dibolehkan oleh Allah untuk menampakkan perhiasan kepadanya...
Maksudnya, tidak boleh ditampakkan kepada para lelaki ajnabi (yang bukan mahram)...
Maka jika ia ingin pergi ke pasar untuk suatu kebutuhan misalnya, maka wajib ia memakai kaus kaki jika ia memakai henna pada kakinya ketika itu...
Demikian juga henna pada telapak (dan punggung) tangan, wajib untuk di tutup dari orang-orang...
Dan memang menutup telapak (dan punggung) tangan itu disyariatkan, jika di sekelilingnya itu terdapat para lelaki ajnabi...
Baik ia memakai henna ataupun tidak...”
(Fatawa Nurun ‘alad Darbi, 2/7, dinukil dari
https://islamqa.info/ar/223251)

Demikian semoga bermanfaat...

Wabillahi at taufiq was sadaad...

🌿🌷🌻🌿🌷🌻🌿🌷🌻🌿🌷🌻🌿🌷🌻🌿

Penulis : Yulian Purnama

Cairan putih yang keluar dari kemaluan wanita ada beberapa




Cairan putih yang keluar dari kemaluan wanita ada beberapa jenis:
💧1. Madzi
Cairan encer berwarna putih yang keluar karena dorongan syahwat dan tidak mengakibatkan badan lemas. Umumnya tidak terasa saat keluar. Cairan ini lebih banyak dimiliki kaum wanita daripada laki-laki. Madzi keluar secara normal saat bercumbu dengan suami atau saat membayangkan bersetubuh dengannya.
Madzi hukumnya najis dengan kesepakatan ulama. Wajib berwudhu (ketika akan shalat) berdasarkan kesepakatan ulama. Wajib dibersihkan jika mengenai badan atau pakaian.
💧2. Wadi
Cairan kental yang keluar setelah keluarnya air kencing. Hukumnya najis dengan kesepakatan ulama dan wajib berwudhu (jika hendak shalat).
💧3. Mani
Cairan putih yang keluar ketika syahwat memuncak (terasa nikmat dan badan menjadi lemas) yang dialami oleh laki-laki ataupun wanita.
Berdasarkan hadits shahih diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika menjawab pertanyaan seorang wanita tentang hukum mandi bagi wanita yang mimpi basah. Jika wanita tersebut melihat air (mani) maka wajib mandi.
أن أم سليم قالت: يا رسول الله، إن الله لا يستحيي من الحق، فهل على المرأة الغسل إذا احتلمت؟ قال: نعم، إذا رأت الماء، فضحكت أم سلمة
“Bahwasanya Ummu Salamah bertanya,’Wahai Rasulullah sesungguhnya Allah tidak malu tentang kebenaran. Apakah seorang wanita wajib mandi jika mimpi basah?’
Nabi shallallahu’alaihi wasallam menjawab, “Benar. Jika dia melihat air (mani).” Ummu Salamhpun tertawa.’
Para ulama berbeda pendapat apakah mani itu najis ataukah suci? Pendapat yang kuat mengatakan bahwa mani itu suci. Akan tetapi wajib mandi jika cairan ini keluar berdasarkan kesepakatan ulama.
💧4. Keputihan
Cairan yang keluar dari kemaluan wanita tanpa adanya sebab. Cairan ini dikenal para ulama dengan sebutan cairan kemaluan wanita. Mereka berbeda pendapat apakah cairan ini najis ataukah suci?
Madzab Hanafi berpendapat cairan ini suci. Ibnu Abidin dalam Khasyiahnya menukilkan kesepakatan para ulama madzab Hanafi. Pendapat ini merupakan pendapat yang benar dari madzab Syafi’i. Pendapat yang dipilih mayoritas ulama senior madzab Syaifi’i diantaranya Al Baghawi, Ar Rafi’i dan An Nawawi dalam Al Majmu’. Demikian juga pendapat yang benar menurut madzab Hambali. Al Mardawi berkata dalam Al Inshaf, “Tentang hukum cairan pada kemaluan wanita terdapat dua riwayat salah satunya menyebutkan cairan ini suci. Inilah pendapat yang benar menurut madzab Hambali secara mutlak.”
Syaikh Abu Malik Kamal mengatakan,
“Jika cairan ini keluar dari kemaluan wanita di tiap-tiap waktu dan bertambah saat hamil atau tatkala bekerja keras atau selepas jalan kaki jarak jauh maka hukum asalnya cairan ini suci dikarenakan tidak adanya dalil yang menghukuminya najis. (Shahih Fiqh Sunnah, I/83).
Meskipun suci, keputihan dapat membatalkan wudhu sehingga wajib berwudhu jika akan shalat.
Allahua’lam.
***
Penyusun: Ummu Fatimah
Sumber:
Shahih Fiqh Sunnah, Maktabah At Taufiqiyyah.
http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php…
__________________
🍄Hukum Lendir Kecoklatan yang Keluar sebelum Haid
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan:
Sebelum keluar darah haid saya mendapati lendir kecoklatan keluar selama 5hari. Setelah itu baru keluar darah haid yang berlangsung selama 8hari setelah 5hari pertama (total ada 13hari-pen). Saat 5hari pertama itu saya tetap shalat. Apakah sebenarnya saya tetap wajib shalat dan puasa ataukah tidak? Saya berharap penjelasan dan faidah dari Anda.
Jawaban:
Jika lendir coklat yang keluar saat 5 hari pertama tadi keluar secara terpisah (tidak bersambung) dengan darah haid maka wajib bagimu shalat dan puasa serta berwudhu setiap kali hendak melakukan shalat. Karena cairan tersebut dihukumi seperti halnya hukum kencing bukan hukum haid. Sehingga tidak menghalangi seorang wanita untuk shalat dan puasa namun wajib baginya berwudhu setiap waktu sampai lendir tersebut berhenti. Cairan ini dihukumi sebagaimana darah istihadhah.
Adapun jika lendir coklat ini keluar bersambung dengan darah haid maka ia termasuk darah haid dan dihitung sebagai darah kebiasaan. Wajib bagimu meninggalkan shalat dan puasa.
Demikian juga jika cairan kuning atau kecoklatan keluar setelah masa suci maka tidak dianggap sebagai haid. Namun dihukumi sebagaimana darah istihadhah wajib dibersihkan setiap saat serta wudhu setiap kali hendak melakukan shalat lalu shalatlah dan puasalah. Cairan ini sama sekali buka haid sehingga suami diperbolehkan menggauli kalian. Berdalil dengan perkataan Ummu Athiyah radhiallahu ’anha,
كنا لا نعد الكدرة والصفرة بعد الطهر شيئاً
Kami sama sekali tidak menganggap cairan keruh dan kekuningan yang keluar setelah masa suci.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Al Imam Bukhari dalam Shahihnya dan Abu Dawud denga lafadz seperti di atas. Ummu Athiyah termasuk shahabiyah yang memiliki keutamaan dimana bleiau meriwayatkan banyak hadits dari Nabi shallallahu ’alaihi wasallam semoga Allah meridhai beliau.
Wallahul Waliyyuttaufiq.
Agar lebih jelas mohon baca artikel kami:
Kupas Tuntas Hukum Flek Coklat Ketika Haid
Penerjemah: Tim Penerjemah WanitaSalihah.Com
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits