MAKALAH
NIKAH MUT'AH
Dosen
Ade Ruslan
Hidayat, S.Pd.I., M.S.I
Dibuat untuk memenuhi Tugas Kelompok
dan Presentasi
Pada mata kuliah
Fiqh 3
Disusun oleh:
Fitri Riani
Maya Siti rukoyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SUKABUMI
Jl.
Lio Balandongan Sirnagalih
No.74 Kel.Citamiang Telp(0266)224566
Kota Sukabumi 1435
KATA
PENGANTAR
Puji Syukur kami
ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ Nikah Mut'ah “ ini tepat pada
waktunya.
Makalah ini berisikan tentang
manfaat-manfaat yang bisa didapat dari mempelajari pendidikan fiqh munakahat,
namun dalam makalah ini kami spesifikasikan manfaat itu hanya dalam ruang
lingkup tentang pernikahan mut'ah saja. Saya sampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal
hingga akhir, terutama Bapak Ade Ruslan Hidayat, S.Pd.I., M.S.I
selaku dosen mata Fiqh Munakahat.
Diharapkan makalah ini dapat berguna
dalam kegiatan pembelajaran sekaligus dapat memberikan informasi kepada kita
tentang pembahasan nikah mut'ah.
Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan
untuk dijadikan pedoman dan acuan selanjutnya. kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca.
Sukabumi,
20 November 2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah.......................................................
1
B.
Rumusan Masalah................................................................
1
C.
Tujuan Pembuatan
Makalah ............................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Definisi Nikah
Mut'ah ......................................................... 2
B.
Sejarah Nikah Mut'ah pada masa Raulullah SAW
.............. 3
C.
Landasan hukum nikah mut'ah menurut undang-undang
dan syari’at Islam ................................................................ 4
D.
Fatwa Para Ulama Tentang
Nikah Mut'ah .......................... 8
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan ......................................................................... 10
B.
Saran .................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Dengan berjalan
waktu fenomena dan segala permasalahan yang timbul semakin kompleks. Banyak permasalahan yang
terjadi pada dewasa ini belum atau bahkan tidak terjadi sama sekali pada zaman
Rasulullah SAW dan para ulama ahli fiqh lainnya. Sehingga sering sekali terjadi
silang pendapat untuk menyelesaikannya.
Dalam kehidupan
manusia, pada usia tertentu, bagi seorang laki-laki maupun seorang wanita
timbul kebutuhan untuk hidup bersama dengan lawan jenisnya. Hidup bersama antara
seorang laki-laki dan wanita tersebut tidak selalu ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan biologis, namun juga keinginan mendapat anak keturunannya, maupun
hanya untuk memenuhi hawa nafsu belaka.
Allah
menetapkan adanya aturan tentang pernikahan bagi manusia. Tujuannya untuk
menyelamatkan dan mengatur kehidupan manusia. Manusia tidak boleh berbuat
semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya. Allah telah
memberikan batas dengan peraturan-peraturannya, yaitu dengan syari’at yang
terdapat dalam kitab-Nya dan hadist rasul-Nya dengan hukum-hukum pernikahan.
Pernikahan adalah sunatullah, hukum alam di dunia dan merupakan ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dan wanita.
Namun, dewasa
ini mulai populer adanya kawin kontrak atau dalam istilah fiqih disebut dengan nikah mut’ah.
Bagaimanakah islam menanggapi fenomena tersebut? Oleh karena itu, dalam makalah
ini akan dibahas mengenai kawin kontrak menurut sudut pandang Islam.
B.
Rumusan
Masalah.
1.
Apa pengertian Nikah Mut'ah?
2. Bagaimanakah sejarah kawin kontrak pada
masa Rasulullah SAW?
3. Apa landasan hukum kawin kontrak menurut undang-undang
dan syari’at Islam?
4. Apa dampak negatif dan positif kawin
kontrak?
C.
Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui dan memahami pengertian nikah mut'ah
2. Mahasiswa mengetahui dan memahami sejarah nikah mut'ah pada masa
Rasulullah SAW.
3.
Mahasiswa
mengetahui dan memahami landasan hukum nikah mut'ah menurut undang-undang dan syari’at
Islam.
4. Mahasiswa mengetahui dan memahami dampak negatif dan
positif adanya nikah
mut'ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nikah Mut'ah.
Dalam bahasa
Indonesia, “perkawinan” berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin, atau
bersetubuh.[1][1]
Sedangkan “kontrak” berarti persetujuan yang bersanksi hukum antara dua
pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan.[2][2] Nikah mut'ah dalam istilah fiqih
dikenal sebagai nikah mut’ah. Dalam
istilah yang lain, nikah mut’ah disebut
juga nikah sementara (nikah muaqqot) atau nikah terputus (nikah munqothi’).
Menurut Dr. H.
Mahjuddin, M.Pd. I, nikah
mut'ah merupakan tradisi masyarakat jahiliyah.[3][3] Yang pengertiannya menurut Sayyid
Syabiq, “kawin kontrak adalah adanya seorang laki-laki mengawini wanita selama
sehari, atau seminggu, atau sebulan.” Dan dinamakan muth’ah karena laki-laki
mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan
bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah ditentukannya.[4][4]
Nikah mut’ah adalah
nikah untuk bersenang-senang dalam masa tertentu. Misalnya dikatakan oleh
walinya,” Aku nikahkan engkau dengan Fatimah untuk sebulan saja”.[5][5]
Perkawinan adalah sunatullah, hukum alam di dunia. Perkawinan yang
merupakan sunatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung pada tingkat
maslahatnya. Di sini, perbedaan tingkat larangan sesuai dengan kadar kemampuan
merusak dan dampak negatif yang ditimbulkannya.
Secara istilah,
kawin kontrak adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan dengan menyebutkan
batas waktu tertentu ketika akad nikah, misalnya satu minggu, satu bulan, satu
tahun, dan sebagainya. Apabila telah sampai pada waktu yang ditetapkan, maka
pernikahan itu putus dengan sendirinya.[6][6] Nikah mut’ah cenderung bertujuan untuk
hiburan, bersenang-senang, dan melampiaskan hawa nafsu semata.
B.
Sejarah Nikah Mut'ah pada masa
Raulullah SAW.
Jika kita
tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak
memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika
itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita
ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan
hak-haknya sebagaimana mestinya.
Pada zaman
Rasulullah, saat itu Rasulullah mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh dari
istrinya untuk melakukan nikah mut’ah, dari pada melakukan penyimpangan. Namun kemudian
Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota Mekah pada tahun 8
H / 630 M.
Nikah mut’ah di
awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh (dihapus). Nikah ini menjadi haram
hingga hari kiamat. Demikianlah yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas)
sahabat, tabi’in dan para ulama madzhab (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 99). Dari
Sabroh Al Juhaniy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- بِالْمُتْعَةِ عَامَ الْفَتْحِ حِينَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ
نَخْرُجْ مِنْهَا حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا.
“Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami untuk melakukan nikah
mut’ah pada saat Fathul Makkah ketika memasuki kota Makkah. Kemudian sebelum
kami meninggalkan Makkah, beliau pun telah melarang kami dari bentuk nikah
tersebut.” (HR. Muslim no. 1406)
Dalam riwayat lain dari Sabroh, ia
berkata bahwa dia pernah ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam saat penaklukan kota Mekkah. Ia berkata,
فَأَقَمْنَا بِهَا خَمْسَ عَشْرَةَ -
ثَلاَثِينَ بَيْنَ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ - فَأَذِنَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ ... ثُمَّ اسْتَمْتَعْتُ مِنْهَا فَلَمْ
أَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Kami menetap
selama 15 hari (kira-kira antara 30 malam atau 30 hari). Awalnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kami untuk melakukan nikah mut’ah
dengan wanita... Kemudian aku melakukan nikah mut’ah (dengan seorang gadis).
Sampai aku keluar Mekkah, turunlah pengharaman nikah mut’ah dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim no. 1406).
Saat kekhalifahan Ali mulai terdapat perdebatan
soal kawin mut'ah antara Sunni dan Syiah. Sunni mengatakan, kawin mutah telah
dilarang oleh Nabi Muhammad saw pada berbagai kesempatan. Dan menurut Syiah,
Nabi juga pernah memperbolehkannya dalam berbagai kesempatan. Yang telah
menjadi kesepakatan sejarah, Umar bin Khatthab ra. saat menjabat Khalifah telah
melarangnya.
C. Landasan hukum nikah mut'ah menurut undang-undang dan syari’at
Islam.
1.
Menurut
undang-undang perkawinan di Indonesia.
Nikah
mut'ah merupakan salah satu jenis perkawinan yang masuk ke dalam kategori
“perkawinan yang timpang” karena tidak memenuhi ketiga aspek tersebut melainkan
hanya dilakukan berdasarkan nafsu duniawi semata.
Dalam sudut pandang hukum, kawin
kontrak pada dasarnya tidak diperkenankan oleh hukum perkawinan Indonesia yaitu
yang terangkum dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 1
Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa ” Perkawinan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang maha Esa.”[7][7] Selanjutnya Pasal 2 ayat (1)
menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah , apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”[8][8]
Ketentuan di atas mengandung pengertian
bahwa apabila sebuah perkawinan dilakukan tidak berdasarkan agama dan
kepercayaan dari masing-masing pihak, maka secara hukum tidak akan diakui
keabsahannya. Ketentuan agama dalam hal ini tidak hanya diberi pengertian
terpenuhinya syarat-syarat konkrit seperti adanya dua calon mempelai,
persetujuan orang tua, maupun mahar, dan lain-lainnya, tetapi juga harus
terpenuhinya tujuan dari perkawinan itu sendiri yaitu untuk membentuk sebuah
keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, kawin kontrak bukan
merupakan perkawinan yang sah karena pada dasarnya dilakukan bukan karena
adanya tujuan yang mulia untuk mematuhi perintah Tuhan dan untuk membentuk
keluarga yang bahagia, melainkan hanya untuk memenuhi tujuan-tujuan yang
didasari kepentingan yang bertentangan dengan hukum perkawinan itu sendiri,
misalnya demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Selain itu dalam hukum perkawinan
dikenal adanya asas pencatatan perkawinan yang tertuang dalam pasal 2 ayat (2 )
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 bahwa ” Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”[9][9] Kawin
kontrak bukan hanya tidak dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku tetapi proses dari perkawinannya itu sendiri berlangsung secara
diam-diam bahkan tidak banyak orang yang mengetahuinya. Adapun pengertian “sah”
dalam pandangan para pelaku kawin kontrak hanya didasarkan pada terpenuhinya
persyaratan dua calon mempelai, persetujuan orang tua, penghulu, dan mahar,
sehingga mereka berpikir bahwa secara agama perkawinan tersebut sah meskipun
tidak dicatat.
Ini adalah pemahaman yang keliru karena
berdasarkan hukum perkawinan, perkawinan itu akan sah apabila dicatat oleh
lembaga yang berwenang melakukan pencatatan. Mengenai asas pencatatan ini pun
tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang merupakan pelaksanaan
dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kemudian jika dilihat dari Syarat-syarat perkawinan yaitu yang termuat dalam
pasal 6 ayat (1) yang berbunyi : ” Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai.“[10][10]
Kenyataannya, kawin kontrak lebih
banyak terjadi bukan berasal dari persetujuan calon mempelai tetapi terjadi karena
paksaan dari orang tua (jika pihak perempuan) yang karena faktor ekonominya
kurang mampu sehingga tega menjual anak-anaknya sendiri untuk tujuan menyambung
hidup. Persetujuan yang terjadi pada umumnya hanya terucap secara lisan saja
berdasarkan paksaan, bukan karena hati nurani. Dan ini sudah melanggar
ketentuan dari tujuan perkawinan itu sendiri yang harus didasari oleh kehendak
dan tujuan yang baik untuk memenuhi perintah Tuhan. Sedangkan dari pihak
laki-laki sudah jelas tujuannya hanya sebatas pemuas nafsu biologis semata atau
juga tujuan-tujuan lainnya yang hanya berorientasi pada kepentingan sepihak. Pasal
7 ayat (1) undang-undang perkawinan menyatakan bahwa ‘Perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”[11][11] Dalam undang-undang Perkawinan dikenal asas bahwa para
pihak harus sudah aqil balig. “Aqil” dalam hal ini adalah ‘berakal” dan balig
adalah “dewasa secara fisik”. Banyak pihak yang mengartikan dewasa itu hanya
sebagai “balig”, padahal kedewasaan itu ditunjang oleh “aqil” sehingga
seseorang tersebut mempunyai akal untuk berfikir atau mempertimbangkan sesuatu
itu apakah benar atau tidak, apakah berakibat buruk atau tidak.
Demikian pula pada masalah perkawinan,
kedua calon mempelai itu dituntut tidak hanya dewasa secara fisik tetapi juga
dewasa secara pemikiran sehingga akan mampu menjalankan bahtera perkawinannya
secara sehat.Jika merujuk pada keterangan para pelaku kawin kontrak, pada
umumnya syarat aqil dan balig itu hanya dimiliki oleh satu pihak (misalnya dari
pihak laki-laki yang rata-rata sudah berusia dewasa dan memiliki akal untuk
mempertimbangkan baik dan buruknya perkawinan kontrak namun mereka mengabaikan
hal tersebut) namun di lain pihak.
Calon mempelai perempuan berusia di
bawah 16 tahun atau berusia di atas enam belas tahun namun belum memiliki
kedewasaan yang cukup untuk mempertimbangkan baik buruknya melakukan kawin
kontrak sehingga mereka menurut saja ketika orang tua memaksanya atau keadaan
ekonomi menuntutnya untuk dilakukan perkawinan komersial tersebut. Oleh karena
itu jenis perkawinan ini sangat bertentangan dengan nilai kepatutan di
masyarakat, serta bertentangan dengan agama dan hukum negara.
Kawin kontrak merupakan sebuah fenomena
terselubung dalam masyarakat sekarang ini. Pelaksanaan kawin kontrak sangat
bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974, karena dalam kawin kontrak yang
ditonjolkan hanya nilai ekonomi, dan perkawinan ini hanya bersifat sementara.
Menurut UU No.1 Tahun 1974, perkawinan haruslah bersifat kekal untuk
selama-lamanya.
2.
Menurut
syari’at Islam.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini
pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana
dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim:
وَالصَّوَاب الْمُخْتَار أَنَّ
التَّحْرِيم وَالْإِبَاحَة كَانَا مَرَّتَيْنِ، وَكَانَتْ حَلَالًا قَبْل خَيْبَر
، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْم خَيْبَر، ثُمَّ أُبِيحَتْ يَوْم فَتْح مَكَّة وَهُوَ
يَوْم أَوْطَاس، لِاتِّصَالِهِمَا، ثُمَّ حُرِّمَتْ يَوْمئِذٍ بَعْد ثَلَاثَة
أَيَّام تَحْرِيمًا مُؤَبَّدًا إِلَى يَوْم الْقِيَامَة، وَاسْتَمَرَّ التَّحْرِيم
“Yang benar
dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian
diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian
diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika
fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk
selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa
ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam
keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang
merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari
kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah)
bagi para sahabat ketika itu.
Haramnya nikah
mut’ah, menurut Bahtsul Masail DPP Ittihadul Muballighin, berlandaskan
dalil-dalil Hadits Nabi dan juga pendapat para ulama dari empat madzhab. Dalil
dari Hadits Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim
menyatakan bahwa:
وَحَدَّثَنِى سَلَمَةَ بْنُ شَبِيبٍ
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا مَعْقِلٌ عَنِ ابْنِ أَبِى
عَبْلَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ
سَبْرَةَ الْجُهَنِىُّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
نَهَى عَنِ الْمُتْعَةِ وَقَالَ « أَلاَ إِنَّهَا حَرَامٌ مِنْ يَوْمِكُمْ هَذَا
إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ كَانَ أَعْطَى شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ ». صحيح
مسلم – (ج 4 / ص 134)
Dari Sabrah bin
Ma’bad Al-Juhani, ia berkata: Kami bersama Nabi Muhammad SAW dalam suatu
perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama saudara sepupu kami dan
bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut,
sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu.
Kemudian wanita tadi berkata: Ada selimut seperti selimut. Akhirnya aku
menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke
Masjid Al-Haram, dan tiba-tiba aku melihat Nabi SAW sedang berpidato di antara pintu
Ka’bah dan Hijir Ismail. Beliau bersabda: Wahai sekalian manusia, Aku pernah
mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang siapa
yang mempunyai istri dengan cara nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya, dan
segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya janganlah kalian ambil lagi.
Karena Allah Azza wa Jalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat.
(Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim , Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah,
Imam al-Nasa’i , Imam al- Darimi, Imam Ibnu Syahin).
Dalil Hadits lainnya:
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ
حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ أَنَّهُ سَمِعَ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي
الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ وَأَخُوهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ
عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لِابْنِ عَبَّاسٍ
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُتْعَةِ
وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ صحيح البخاري – (ج 5 / ص
1966)
Dari Ali bin
Abi Tholib r.a. ia berkata kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW
melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang
Khaibar. (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari , Imam al- Tirmidzi ,
Imam Malik bin Anas , Imam Ibni Hibban, Imam al-Baihaqi, Imam al-Daruqutni dan
Imam Ibnu Abi Syaibah).
Jadi kawin
kontrak atau nikah muth’ah itu dilarang oleh Islam. Karena dapat merusak tujuan
utama dari perkawinan itu sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
Al-Qur’an berikut ini:
ô`ÏBur
ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä
÷br&
t,n=y{
ä3s9
ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurø—r&
(#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur
Nà6uZ÷t
Zo¨Šuq¨B
ºpyJômu‘ur
4 ¨bÎ)
’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGtƒ
Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)
D. Fatwa/Pendapat Para Ulama Tentang Nikah Mut'ah
1.
Ulama Madzhab
Hanafi :
a. Imam Al-Sarakhsi berkata : ''Nikah mut'ah ini batil
menurut madzhab kami ''.
b. Imam Al-Kasani berkata: ''Tidak boleh nikah yang bersifat
sementara yaitu nikah mut'ah ''.
Imam Abu Ja'far Ath-Thohawi berkata; ''Sesungguhnya semua
hadis yang membolehkan nikah mut'ah telah di mansukh ( di hapus)''.Beliau juga
berkata: lihatlah umar beliau melarang nikah mut'ah di hadapan semua sahabat
,tanpa ada yang mengingkari .ini adalah dalil bahwasanya mereka mengikuti
larangan Umar, dan kesepakatan mereka untuk melarang hal tersebut adalah hujjah
atas di hapusnya kebolehan mut'ah .''
2.
Ulama Madzhab
Maliki :
a. Imam Malik bin Anas v berkata : ''Apabila seorang lelaki
menikahi wanita dengan di batasi waktu maka nikahnya batil ''.
b.
Imam Ibnu Rusyd
v berkata ; ''Hadist –hadist yang
mengharamkan nikah mut'ah mencapai peringkat yang mutawatir''.
c.
Imam Ibnu Abdil
Barr v ; ''Adapun semua shahabat ,Thabi'in dan orang-orang yag setelah mereka
mengharamkan nikah mut'ah, di antara mereka adalah Imam Malik dari Madinah, Abu
Hanifah dan Abu Tsur dari Kufah, Al-Auza'I dari Syam, laits bin Sa'ad dari
Mesir serta seluruh ulama hadis.
3.
Ulama
Madzhab Syafi'I :
a. Imam Asy-Syafi'I berkata : ''Nikah
mut'ah yang di larang itu adalah semua nikah yang di batasi dengan waktu baik
pendek maupun panjang'.
b. Imam Nawawi berkata : ''Nikah mut'ah tidak di
perbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya suatu akad yang bersifat
mutlak, Maka tidak sah apabila di batasi dengan waktu.
c. Imam Al-Khothobi berkata : ''keharaman nikah mut'ah
semacam kesepakatan antara kaum muslimin, memang nikah ini di halalkan di awal
masa Islam, Akan tetapi di haramkan pada sa'at haji wada dan demikian itu
terjadi di akhir–akhir masa Rasulullah n dan sekarang tidak ada perbeda'an
antar para ulama mengenai keharaman masalah ini kecuali sedikit dari kalangan
orang –orang Syiah Rafidhah.
4. Ulama Madzhab Hanbali
a. Imam Ibnu Qudamah v berkata : ''Nikah mut'ah ini batil
sebagaimana di tegaskan oleh Imam Ahmad, beliau berkata : ''nikah mut'ah
haram''.
b. Bahkan sebagian ulama menukil ijma tentang keharaman
nikah mut'ah seperti Imam Al-Baghowi sebagaimana di nukil Syaikh Shidiq hasan
khon, Imam Al-Qurthubi, Ibnul Al-Arobi dan Sayyid Sabiq
c. Majlis ulama pusat telah memfatwakan akan keharaman nikah
mut'ah pada sk fatwa nomer: kep –B-679/MUI /XI/1997.
E. Dampak negatif dan positif adanya kawin kontrak.
1. Dampak Positif.
Selain dampak negatif, nikah mut’ah pun
ternyata juga mempunyai dampak postif. Dampak positifnya adalah memerlukan
seseorang, karena ia khawatir terjerumus ke dalam fitnah dan salah satu cara
pemeliharaan diri dari zina dan perbuatan keji, hal ini adalah pendapat Jumhur
ulama, sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab Al-Mughni, yaitu Muwaffiquddin
Ibnu Qudamah Rahimahullah.
2. Dampak negatif.
3.
a. Kawin kontrak merupakan bentuk pelecehan terhadap
martabat kaum wanita. Jadi pihak wanita sangat dirugikan.
b. Kawin kontrak mengganggu keharmonisan keluarga dan
meresahkan masyarakat.
c. Kawin kontrak berakibat menelantarkan
generasi yang dihasilkan oleh perkawinan itu.
d. Kawin kontrak bertentangan dengan
Undang Undang Perkawinan No.1/1974 pasal 1& 2
e. Kawin kontrak dicurigai dapat menimbulkan dan menyebarkan
penyakit kelamin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
1. Kawin Kontrak adalah pernikahan antara laki-laki dan perempuan
dengan menyebutkan batas waktu tertentu ketika akad nikah, misalnya satu
minggu, satu bulan, satu tahun, dan sebagainya.
2. Sejarah kawin kontrak: pada zaman Rasulullah, saat itu
Rasulullah mengizinkan tentaranya yang terpisah jauh dari istrinya untuk
melakukan Kawin kontrak, dari pada melakukan penyimpangan. Namun kemudian
Rasulullah mengharamkannya ketika melakukan pembebasan kota Mekah pada tahun 8
H / 630 M. Kawin kontrak di awal-awal Islam dihukumi halal lalu dinaskh
(dihapus). Kawin ini menjadi haram hingga hari kiamat.
3. Kawin kontrak atau nikah muth’ah haram hukumnya. Karena
sangat bertentangan dengan Al-Qur’an.
4.
Kawin kontrak
selain mempunyai dampak negatif, disisi lain ada dampak positifnya. Tetapi
dampak positif ini hanya berlaku pada saat perang pada zaman Rasulullah karena
untuk mmbangkitkan semangat para sahabat yang jauh dari istrinya untuk jihad
dijalan Allah SWT.
B.
Saran.
Kawin kontrak
merupakan pernikahan yang dilarang dalam Islam. Jadi harus ditemukan jalan
keluar untuk mencegah maraknya kawin kontrak. Solusinya adalah dengan
mengadakan seminar dan penyuluhan tentang hukum kawin kontak serta menjelaskan
sebab akibat dari kawin kontak. Dengan tujuan masyarakat sadar bahwa sebuah
perkawinan merupakan bagian hidup yang sakral.
[1][1] Anton Muliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta,
Balai Pustaka,1994), 456
[2][2] Ibid., 456
[3][3] Mahjuddin, Masailul
Fiqhiyah (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), 51
[4][4] Sayyid Syabiq, Fikih
Sunnah 6 (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1980), 63
[5][5] M. A. Tihami dan Sohari
Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2010), 89
[6][6] Team Musyawarah Guru Bina
PAI Madrasah Aliyah, Al Hikmah Fiqih (
Sragen: Akik Pusaka, 2008), 10
[7][7] Soemiyati, Hukum
Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 2007),
138
[8][8] Ibid., 139
[9][9] Kementrian Agama, Kompilasi
Hukum Islam (Bandung: Humaniora Utama Press, 1992), 18
[10][10] Soemiyati, Op. Cit.,
140
[11][11] Ibid., 141
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya, 2011
Kementrian Agama. Kompilasi
Hukum Islam. Bandung: Humaniora Utama Press, 1992
Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah. Jakarta: Kalam
Mulia, 2003
Muliono, Anton. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta, Balai
Pustaka,1994
Sabiq, sayyid. Fikih Sunnah 6. Bandung: PT. Alma’arif, 1980
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan.
Yogyakarta: Liberty, 2007
Team Musyawarah Guru
Bina PAI Madrasah Aliyah. Al Hikmah
Fiqih. Sragen: Akik Pusaka, 2008
Tihami, M. A. dan Sohari Sahrani. Fikih
Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Sumber lain:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar